2010/02/07

Puisi"Batinku Menangis"

Sunyi, sepi, sendiri…

tiga kata yang sangat aku benci

tapi…mengapa semuanya aku alami?

Ku terdiam seorang diri

menikmati kesendirian yang tak bertepi

tiada cinta, tiada kasih dan tiada sayang

kurasakan sesal yang begitu mendalam

namun….aku sadar

hanya kau yang ada di hati

Ku terdiam… dan terus terdiam

tak sanggup kuungkapkan semua rasa yang memenuhi hatiku

batin ini menangis

menahan semua rasa yang tak pasti

tapi…. aku tahu

semua yang kurasakan takkan pernah berarti

Kini…

semuanya telah hilang

semuanya telah pergi

semuanya telah berakhir

semuanya hanya tinggal kenangan

dan semuanya tak kan pernah bisa terulang…

Cerpen "Aku Sahabatmu yang Mencintaimu"

Aku mengenal Tama sejak tiga bulan yang lalu. Kami les matematika di tempat yang sama. Dan kebetulan Tama satu sekolah dengan Sisi, yang tak lain tetanggaku yang juga les matematika bersamaku. Aku tak menyangka akan menjadi karibnya mengingat pada masa-masa perkenalan dia terlihat begitu aneh.

“Hai, aku Tama, T-A-M-A”, ujarnya sembari menjulurkan tangan kanannya ingin menyalamiku dan tangan kirinya yang dari tadi tak berhenti memutar-mutar kunci motor.

“Deka”, sahutku singkat.

“Oh, nama kamu Deka, D-E-K-A?”

“Si, dia aneh banget sih, kayak orang lagi belajar ngeja?”, bisikku pada Sisi yang duduk di sampingku.

“Ah biasa, dia emang orangnya gitu,” ujar Sisi.

Perkenalan itu membuatku selalu menganggap Tama cowok yang aneh. Dan itu membuatku tak menyukai sikapnya. Tapi ada sesuatu dari diri Tama yang aku sukai, yaitu tubuhnya yang tinggi dan tampangnya yang keren.

Setelah dua minggu kenalan, Tama mulai sering titip salam buatku lewat perantara Sisi. Maklum, aku dan Tama hanya bertemu sekali dalam seminggu yaitu hanya saat les. Dan Sisi selalu menyampaikan salam Tama padaku.

“De, kemari, aku mau ngomong ma kamu,” teriak Sisi di teras rumahnya yang nggak jauh dari rumahku.

“Ada apa?”

“Aku mau cerita sesuatu ma kamu”.

“Sesuatu apaan?”

“Apaan ya,…”.

“Udah, cepetan kalo mau cerita, nggak usah bikin orang penasaran deh”.

“He..he..,penasaran ya?”

“Cepetan donk kalo mau cerita”.

“Ya udah, begini loh, tadi Tama titip salam buat kamu, gimana salam balik nggak?”

“Hah, Tama yang aneh itu titip salam buat aku?” Nggak salah?”

“Ya nggak lah, emang ada Tama yang kamu kenal selain dia?” Nggak kan?”

“Iya juga sih”.

“Gimana, salam balik nggak?” Eh, dia juga sering nanya tentang kamu loh?”

“Ya udah salam balik buat dia, emang dia nanya apaan ke kamu?”

“Banyak sih, tadi dia tanya no hp kamu”.

“Terus kamu kasih?”

“Ya iyalah, nggak apa-apa kan?”

“ Nggak apa-apa sih”.

Sampai suatu saat, entah apa yang terjadi, aku dan Tama mendadak akrab. Kurasa semuanya terjadi karena aku dan Tama sering sms-an. Sebenarnya hal yang aku dan Tama bicarakan di sms nggak ada pentingnya sama sekali. Kami hanya bercanda lewat sms. Tapi nggak tahu kenapa, aku semangat sekali kalau membalas sms dari Tama, tanpa memikirkan aku bakal kehabisan pulsa cuma untuk sesuatu yang nggak penting.

Segalanya mengalir seperti air, aku dan Tama semakin akrab. Jika pada awalnya topik pembicaraan kami pada saat les hanyalah materi tentang les, semuanya mulai berubah. Saat les, aku dan Tama sering bercanda yang nggak jelas. Sesuatu yang pribadipun mulai kami masuki. Aku pun tidak segan lagi menanyakan kondisi hubungannya dengan Yeti, pacarnya, yang sering diwarnai dengan acara putus sambung.

Seiring dengan berjalannya waktu, pertemanan kami semakin erat. Mungkin karena kami mempunyai banyak kesamaan. Ya, aku dan Tama sama-sama punya hobi traveling. Kami sering meluangkan waktu hanya untuk sekedar jalan-jalan, bahkan sampai ke luar kota. Kesamaan itu perlahan mulai mendekatkan kami berdua.

Suatu saat, kesibukan Tama sebagai ketua PA (Pencinta Alam) di sekolahnya bertambah, dia harus mendekatkan diri dengan mereka, adik-adik kelasnya yang mempunyai keinginan dan potensi mengikuti kegiatan PA.

“De, aku ngelihat anggota PA di sekolahku sangat berpotensi untuk menjadi juara PA di kota kita tahun ini, aku ingin menggali potensi mereka, karena aku ingin kegiatan PA yang aku pimpin bisa maju dan berhasil”, kilah Tama saat aku tanya mengapa saat ini dia jarang menghubungiku.

Dan aku sangat memaklumi jawaban Tama itu, karena aku juga mendukung kegiatannya yang memang mempunyai tujuan yang sangat baik. Namun belakangan kesibukan Tama membuat aku merasa kehilangan sosok yang sangat berarti bagiku. Tak ada lagi yang menghiburku di kala aku sedih dan yang mengantarkan aku chat di warnet. Bahkan Tama mulai sering tidak berangkat les.

Semua itu membuat aku sangat merindukan Tama. Aku kangen Tama, tawanya yang lucu, tingkahnya yang jail, dan sikapnya yang kadang aneh. Bahkan aku kangen dengan aroma parfumnya yang khas Tama banget. Sepertinya aku telah kehilangan semuanya. Aku sadar, aku mulai menyukai Tama, aku mulai menyayanginya sejak aku merasa betah memandanginya dan saat aku mulai merasa kehilangannya. Tetapi semua rasa ini kunikmati sendiri dan Tama tidak perlu tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Kemudian aku memutuskan untuk mengubur dalam-dalam keinginanku untuk menjadi seseorang yang Tama sayangi meskipun sebenarnya batinku menangis.

Setelah kesibukan Tama berkurang, semuanya kembali seperti semula, tetapi ada sedikit yang berubah. Kebiasaannya mengacak-acak rambutku berganti dengan elusan yang halus. Cubitan jail di pipi, kini berganti elusan mesra di pipi. Bahkan sering kudapati Tama sedang memandangiku sehingga aku sering membuang muka karena aku tak dapat menahan panas di wajahku tatkala tatapannya tak juga lepas. Setelah berhasil membuatku malu, Tama akan tertawa dengan puasnya. Semua yang berubah membuatku berpikir bahwa Tama juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi aku, Deka yang pemalu, tak cukup berani untuk menanyakan hal itu karena ada seorang Yeti yang super cantik dan gaul yang berada di antara aku dan Tama.

“Woi….bengong aja!”, Sisi mengagetkanku hingga segala yang kupikirkan hilang entah kemana.

“Kamu apa-apaan sih, ngagetin aku aja”.

“Suruh siapa pagi-pagi dah ngelamun, emang ngelamunin apaan sih?”

“Ada deh, mau tahu aja”.

“Eh biar ku tebak, pasti kamu ngelamunin Tama, iya kan?”

“Ih kamu sok tahu banget sih, siapa yang ngelamunin dia, capek deh”.

“Ah nggak usah munafik deh, bener kan tebakanku?”

“Udahlah nggak usah dibahas”.

Tiba-tiba terdengar bunyi nada dering dari handphoneku. Dengan segera kutarik benda yang berwarna ungu itu.

“Panggilan masuk Tama”, batinku membaca nama yang tertera di hp.

“Ada apa ya, Tama meneleponku?”, tanda tanya besar muncul di benakku.

Lalu kuangkat telpon dari Tama.

“Hallo, ada apa Tam, tumben telpon”.

“Hai De, nggak apa-apa kok, kamu lagi ngapain, aku ganggu nggak?”

“Aku nggak lagi apa-apa kok. Loh nggak ada apa-apa kok pake acara telpon segala”.

“Kangen aja, eh ntar sore kamu ada acara nggak?”

“Enggak, emang kenapa?”

“Ntar sore bisa nggak kita ketemuan di taman jam 4?”

“Bisa, emang mau ngapain sih?”

“Aku pingin ngomong ma kamu, ya ntar kamu juga tahu sendiri, ya udah met ketemu ntar sore ya, met siang”.

“Siang juga”.

Semua pertanyaan muncul di benakku. Aku semakin penasaran apa yang sebenarnya ingin Tama katakan sehingga aku harus datang ke taman jam 4 sore. Aku berharap waktu akan cepat berjalan agar rasa penasaran di benakku tak semakin berkembang. Tetapi, entah mengapa, justru sebaliknya kurasakan waktu yang berjalan sangat lambat, sehingga pertanyaan yang muncul dibenakku semakin banyak. Kupandangi jam dinding di sudut kamarku terus-menerus. Dan akhirnya jam 3 lebih 30 menit pun tiba. Aku bersiap-siap untuk berangkat ke taman.

Aku sampai di taman tepat jam 4 sore seperti yang Tama inginkan. Tapi tak terlihat satu orangpun di sana. Ku duduk sendiri di bangku dekat pohon beringin, kurasakan semilir sejuknya angin di sore itu. Sudah 15 menit aku duduk, seseorang yang kunantikan tak kunjung datang.

“Dasar Tama pembohong, ini kan sudah jam 4 lebih 15 menit, kenapa dia belum datang, apa dia cuma mau mainin aku?”, ujarku dalam hati.

Saat aku beranjak, tiba-tiba sosok Tama pun datang mengagetkanku.

“Hai, dah lama ya?”

“Belum lama kok, paling baru satu tahun, tenang aja, belum satu abad kok”.

“Ih kamu marah ya, jelek tau”.

“Biarin”.

“Ya dah aku minta maaf deh”.

“Udah lah cepetan kamu mau ngomong apa?”

“Ya dah sekarang tutup mata kamu dengan kain ini”.

“Apa-apaan sih”.

“Udah ikut aja”, ujar Tama sembari menarik tanganku menuju suatu tempat.

Setelah beberapa langkah aku berjalan, Tama membuka ikatan kain yang menutup mataku. Dengan segera kubuka mataku, dan betapa terkejutnya aku melihat semua yang ada di tempat itu. Terpampang spanduk besar bertuliskan “I LOVE YOU” disana. Tersusun rapi bunga yang mengelilingi tulisan itu. Aku serasa seperti mimpi, aku tak percaya dengan semua yang aku lihat saat itu.

“Tam, apa maksud semua ini?”

“De, aku cinta ma kamu, sebenarnya sudah lama ingin kukatakan semua ini, tetapi aku menunggu waktu yang tepat, dan kurasa saat ini adalah waktu yang tepat buat mengatakan kalo aku benar-benar cinta ma kamu, maukah kamu jadi pacarku?”

“Tam kamu bercanda ya, gimana dengan Yeti?”

“Aku sudah lama kok putus ma Yeti”.

“Kok kamu nggak pernah cerita?”

“Ya menurutku kamu nggak perlu tau kalo aku dah putus ma dia”. Gimana de, maukah kau menerima cintaku?”

“Apa kau benar-benar mencintaiku?”

“Ya, aku sangat mencintaimu, dan aku berjanji akan setia padamu, aku takkan pernah menyakitimu”.

“Tam, sebenarnya aku juga udah lama suka ma kamu”.

“Jadi, kamu terima cintaku, kamu mau jadi pacarku?”

“Ya, asalkan kau mau menerima aku apa adanya”.

“Pasti”.

Peristiwa di taman pada sore itu, tak bisa lepas dari benakku sampai saat ini. Dan akhirnya aku sadar bahwa mencintai sahabat sendiri bukanlah suatu kesalahan.

Selesai

2010/02/04

Tari Ndolalak

Adalagi niy yang terkenal dari daerah Purworejo, yupz kesenian tari ndolalak...

Saya cari manis kembang melati
Di saya cari manis kembang melati
Melati juga yang manis kepada saya

Syair itu cuplikan dari lagu pengiring tarian tradisional Purworejo, tari ndolalak (angguk). Selain lagu itu, para pernarinya juga diiringi suara bedug, terbang jawa, organ, dan kendang. Biasanya ketika para penari lainnya mundur teratur ada salah satu penari yang menggunakan kacamata hitam jingkrak-jingkrak agresif itu tandanya si penari sedang kesurupan roh halus.
Itu gambaran seni tradisional peninggalan leluhur yang jadi andalan dan masih berkembang di Purworejo sampai sekarang. Kelompok kesenian Ndolalak sudah menyebar dan kita tidak sulit mencari group-group ndolalak di kawasan kabupaten Purworejo. Bahkan sering pentas di acara-acara penting dalam negeri.

Dawet Ireng Butuh

Nah ini dia, kalau aku ditanya apa sih yang terkenal di daerah mu, ya jelas "Dawet Ireng"
Konon, dawet ireng ini awal mulanya dipasarkan oleh Mbah Ahmad sekitar tahun 1950 di daerah sebelah timur jembatan Butuh, Purworejo. Dawet ireng saat ini sudah terkenal sampai ke luar Purworejo kabarnya dawet ireng sudah sampai Jawa Barat dan Jawa Timur, bahkan dawet ireng sering dipesan dalam jumlah besar misalnya untuk acara hajatan.Dawet ireng adalah minuman berjenis dawet tetapi dengan cendol yang berwarna hitam legam. Proses pembuatannya sangat alami yaitu diolah dengan tangan dan tak menggunakan bahan pewarna. Pewarna hitam untuk cendol dibuat dari daun padi kering (oman) yang dibakar hingga menjadi abu, kemudian abu dicampur dengan air dan menghasilkan warna hitam. Sedangkan cendolnya dibuat dari sagu bukan dari tepung beras seperti cendol hijau biasa. Pemanis menggunakan gula aren.
Ada keunikan dalam penyajian dawet ireng ini, yaitu pemerasan santan dari parutan kelapa langsung yang dapat dilihat oleh pembeli dan jumlah cendol ireng yang jauh lebih banyak dibanding kuahnya (santan dan air gula aren), kemudian ditambah es, dijamin segar dan mantap.
Dawet ireng ternyata mampu menembus pasar di luar Purworejo dan seharusnya pemerintah daerah Purworejo mengambil peluang untuk mempopulerkan dawet ireng dan mempatenkan sebagai minuman khas purworejo.